Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi, Muhammad Aiz. FOTO/DOK.PRIBADI
Pengasuh Pondok Pesantren Annida Al Islamy Bekasi
BERDASARKAN World Population Review, Indonesia Hingga tahun 2024 ini menduduki rangking Hingga-2 sebagai sebagai Negeri muslim terbesar Hingga dunia, Bersama total Penduduk Dunia 236 juta penduduk beragama Islam yang setara Bersama 84,35% Bersama total Penduduk Dunia seluruh penduduknya. (www.rri.co.id). Jumlah ini Merasakan penurunan jika merujuk data hasil Eksperimen The Royal Islamic Strategic Studies Centre Hingga tahun 2023 yang menyebutkan Memiliki Penduduk Dunia muslim Hingga Indonesia sebesar 86,7% atau setara Bersama 237,55 juta Bersama total seluruh penduduknya. (https://databoks.katadata.co.id). Besarnya Penduduk Dunia Muslim tersebut apabila dikaitkan Bersama dunia Pembelajaran anak, maka secara linier Berencana menunjukan porsi terbesar Untuk dunia Pembelajaran anak, didominasi Dari anak-anak Muslim. Berdasarkan data Unicef Hingga tahun 2020 terdapat 80 juta anak Hingga Indonesia. (Unicef:2020,13). Situasi ini menjadikan keberadaan lembaga Pembelajaran Sebagai anak-anak menjadi kebutuhan mendasar.
Anak yang merupakan titipan Tuhan merupakan asset berharga yang harus dapat dijaga dan ditumbuhkembangkan secara baik dan benar Untuk terwujudnya Komunitas yang berkualitas. Aturan atau Malahan Penanaman Modal Untuk Negeri yang dilakukan Dari setiap orang tua Di anaknya menjadi sangat krusial jika dikaitkan Bersama Situasi bangsa Indonesia Hingga masa Di. Kesiapan orang tua Untuk upaya mengasuh serta mendidik anak terkadang tidak memadai, Agar membutuhkan pihak lain Untuk melaksanakan tugas pengasuhan serta Pembelajaran anaknya.
Setiap menjelang tahun pelajaran Terbaru muncul kegelisahan Ke Sebagian orang tua Yang Berhubungan Bersama Ide belajar anak-anaknya. Salah satunya adalah keraguan adalah apakah mendidik secara mandiri atau menyerahkan kepada pihak lain, seperti pondok pesantren? Keraguan ini tidak jarang Sebab ditentukan Dari faktor kekurangtahuan orang tua atau bisa juga adanya ‘stigma’ negative Di lembaga pesantren.
Pondok pesantren sebagai salah satu Bersama lembaga Pembelajaran formal berdasarkan Aturantertulis Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, telah lama Membahas Pada penting Untuk proses Pembelajaran anak-anak Indonesia. Malahan banyak pula anak-anak usia dini yang menempuh Pembelajaran Hingga pondok pesantren Bersama berbagai macam latar Dibelakang. (Trend Populer Kecil-kecil Mondok – Pondok Pesantren Lirboyo). Keberadaan anak-anak Hingga bawah umur Hingga pondok pesantren menjadi persoalan yang Memikat Sebagai dikaji agar terjaminnya hak-Perlindungan Anak Untuk Merasakan pengasuhan, Pembelajaran, Malahan keselamatan.
Usia anak yang memilih atau dipilihkan orang tuanya Sebagai menuntut ilmu Hingga pesantren sesungguhnya cukup beragam, mulai Bersama usia Pembelajaran dasar hingga Pembelajaran tinggi. Situasi yang cukup beragam ini memunculkan sebuah pertanyaan kritis apakah memang layak jika ada seorang anak yang masih berusia 6 hingga 12 telah berada Hingga lingkungan pesantren? Hingga manakah letak kasih sayang kedua orangtuanya? Untuk perspektif agama pun, maka mendidik anak adalah tanggung jawab mutlak Bersama setiap orang tua, ketika prosesnya dapat dilakukan, baik secara kesiapan materi maupun kesiapan mental Bersama orangtua tersebut. Hal ini sesungguhnya diikuti juga Dari Konvensi Hukum Anak (KHA) yang mengatur skala prioritas pihak-pihak yang dapat mendidik, mengasuh anak, mulai Bersama orangtuanya hingga pihak lain yang menurut peraturan perundang-undangan dimungkinkan Bersama tetap memperhatikan kepentingan anak.
Faktor pembiasaan serta Pemberian situasi Situasi lingkungan menjadi hal yang sangat penting Untuk mempengaruhi perkembangan setiap anak. Salah satu teori yang menyebutkan bahwa perkembangan anak Berencana sangat ditentukan Dari keberadaan lingkungan, adalah teori Enviromentalisme yang dicetuskan Dari John Locke, Hume, dan Skinner (Masganti Sit:2015,14). Lingkungan Berencana membentuk jiwa seorang anak Melewati berbagai proses yang dialaminya, mulai Bersama adaptasi, repitisi, imitasi, reward hingga punishment. Pondok Pesantren merupakan lembaga Pembelajaran yang didirikan Bersama Prototipe rekayasa lingkungan Pembelajaran. Rekayasa lingkungan ini dimaksudkan Sebagai menciptakan suasana kondusif Agar tujuan dan maksud pembelajaran dapat tercapai.
Untuk sudut pandang yang lain Berkata bahwa kemampuan serta Sukses seorang anak Untuk proses pembelajaran Malahan kehidupan Berencana ditentukan Dari sesuatu yang dibawa Sebelum lahir. Prototipe ini didasari atas sebuah pemikiran yang bersumber Ke teori Nativisme. Tokoh-tokoh yang mencetuskan teori ni Di lain adalah Chomsky, Immanuel Kant, Pinker dan lainnya. (Masganti Sit:2015,13)
Enviromentalisme dan Nativisme menjadi dua teori atau sudut pandang yang saling bertolak Dibelakang Yang Berhubungan Bersama Bersama tatacara mendidik anak. Faktor lingkungan atau justru faktor bawaan Sebelum lahirlah yang sesungguhnya menjadikan seorang anak menjadi berhasil dan sukses sesuai harapan Bersama orang tua. Kedua teori ini masing-masing Memiliki argumentasi yang kuat Agar membuat perdebatan akademis hingga empiris disajikan berdasarkan sesuatu yang nyata dan tidak lagi sebatas teori belaka.
Pesantren sebagai Pilihan
Pesantren sebagai sebuah lembaga Pembelajaran yang Memiliki kekhasan Untuk proses belajar mengajarnya, seringkali dipahami Dari sebagian Komunitas sebagai tempat Sebagai ‘mencetak’ manusia yang Terbaru serta berbeda Bersama wujud Sebelumnya Itu. Anggapan umum yang terbentuk Sebelum lama ini disebabkan Dari Sebab Hingga pesantren Berencana dihadirkan suasana lingkungan Terbaru yang belum pernah dialami Dari para peserta didik.
Pesantren Bersama masa Hingga masa terus dapat mempertahankan eksistensinya Malahan terus berkembang dikarenakan kemampuan Sebagai melakukan proses adjustment dan readjustment Di persoalan Hingga Komunitas khususnya Yang Berhubungan Bersama Pembelajaran. Pesantren juga tidak hanya identik Bersama ajaran serta nilai keislaman, Tetapi lebih Bersama itu, sebagai representasi makna keaslian Indonesia (indegenous) yang Merasakan perkembangan berdasarkan Pengalaman Hidup sosiologis Hingga Komunitas Hingga lingkungannya.(Azra:1999,108). Untuk pemahaman yang lain dinyatakan juga bahwa pesantren tidak hanya melakukan Peralihan ilmu pengetahuan tentang Islam (Islamic knowledge) Untuk ranah kognitif, Tetapi juga adanya pembinaan mental (ranah afektif) hingga memunculkan serta Memperbaiki kemandirian Ke setiap santri (ranah psikomotorik).
Berdasarkan klasifikasinya, ada beberapa macam pesantren Hingga Indonesia.Pertama, pesantren salaf yang hanya mengajarkan kitab turats tanpa adanya pengajaran klasikal (madrasah). Kedua, pesantren salaf yang mengkombinasikan Di kitab turats Bersama Pembelajaran klasikal (madrasah) Tetapi masih didominasi Pembelajaran berbasis turats. Ketiga, pesantren semi modern, yaitu pesantren yang telah Membuat Pembelajaran berbasis klasikal (madrasah) Tetapi tetap mengkaji kitab turats. Keempat, pesantren khalaf (modern), yaitu pesantren yang menyelenggaarkan Pembelajaran umum klasikal Berencana tetapi kajian kitab turats pun tetap dipedomani Tetapi Bersama pendekatan yang lebih klasikal. Kelima, pesantren khalaf (modern) yang ideal dimana tidak hanya mempelajari kitab turats dan Pembelajaran klasikal, Tetapi juga telah menyertakan pengajaran lifeskill Untuk para santrinya, seperti keterampialn Hingga bidang IT, agrobisnis dan lainnya.(Nasir:2005,89).
Selain daripada klasifikasi Hingga atas, masih ada penggolongan pesantren lainnya, yang lebih melihat Di model bangunan pesantren Hingga masa modern ini yang telah berubah jauh jika dibandingkan Bersama Situasi pesantren klasik. Manfred Ziemek telah membedakannya menjadi pesantren tipe A,B,C,D,E, dan F.(Ziemek:1986). Tipe A adalah Sebagai pesantren yang masih sangat berpegang Ke prinsip serta nilai tradisional dan tidak melakukan transformasi serta Pembaharuan Untuk system pendidikannya. Tipe B adalah pesantren yang masih berpegang teguh Ke nilai tradisional Tetapi telah mulai melakukan transformasi dan Pembaharuan Untuk system pendidikannya Kendati belum signifikan. Tipe C adalah pesantren yang telah melakuakn transformasi seta Pembaharuan Untuk system pendidikannya dimana tidak lagi hanya berkutat Hingga pesantren, Tetapi sudah ada lembaga Pembelajaran formal Untuk bentuk madrasah. Tipe D adalah bentuk peningkatan Bersama tipe Sebelumnya Itu, dimana lembaga Pembelajaran yang sudah ada diisi juga Bersama materi Kekuatan yang Berencana menjadi bekal hidup Untuk para santri. Ke tipe D ini, keberadaan santri yang masih Di umur dapat terakomodir Bersama adanya lembaga Pembelajaran anak usia dini. Adapun tipe E adalah sebuah pesantren yang Memiliki kelengkapan lembaga Pembelajaran formal mulai Bersama tingkatan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Adanya berbagai bentuk maupun klasifikasi pesantren, apabila berbicara tujuan Pembelajaran pesantren sesungguhnya sama Bersama tujuan Pembelajaran Untuk ajaran Islam, yakni Sebagai mewujudkan idealitas Islami yang diwujudkan Melewati perilaku setiap manusia.(Muzayyin:2005,8). Ke hakikatnya manusia Memiliki potensi Sebagai dapat dididik dan Malahan mendidik (Homo Educandum). Potensi tersebut Berencana menjadi maksimal ketika terjadinya “pertemuan” yang tepat Di manusia yang dididik dan manusia yang mendidik. Pesantren menjadi tempat dimana pertemuan itu terjadi.(Al Furqan:2015,4). Berbagai karakter anak didik diarahkan Sebagai mengerti serta menyesuaikan Bersama lingkungan yang telah terlebih dahulu dipersiapkan/direkayasa Dari pesantren tersebut.
Untuk menjawab seberapa besar peranan pesantren Untuk mendidik anak, menjadi penting jika kita dapat menggabungkan dua sudut pandang yang masing-masing berbeda Hingga Untuk satu spektrum pembahasan. Teori Enviromentalisme (Nurture) dan Nativisme (Nature) sama-sama Memiliki argumentasi yang kuat Untuk upaya Sebagai mempertahankan teorinya Agar dapat terus berkembang dan diterima Dari Komunitas. Untuk anak yang belajar Hingga pesantren, maka kedua teori tersebut Berencana sangat penting Untuk upaya Sebagai tetap memelihara asa atau Malahan Sebagai memunculkan asa Untuk proses pembelajaran. Asa yang tidak hanya ada Hingga Untuk benak setiap anak, Tetapi juga asa yang dimiliki Dari orang tua.
Adanya dua kutub sudut pandang yang bertolak Dibelakang Untuk melihat proses pembelajaran seorang anak, tentunya membuat tingkat probabilitas anak Untuk mengejar kesuksesannya Lebihterus terbuka lebar. Terbukanya kesempatan Sebagai menjadi berhasi dapat disebabkan Dari sesuatu yang ‘bukan bawaan lahir’ atau justru bersumber Bersama ‘bawaan lahir’. Kecerdasan yang didapat Sebelum lahir merupakan suatu anugerah Bersama Allah SWT Sebagai sebagian anak, sesungguhnya tidak melenceng Bersama teori yang dikemukakan Dari para ahli agama, Di lain Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa syarat Merasakan ilmu ada 6 hal, yakni kecerdasan, semangat juang, kesungguhan, Memiliki modal materi Sebagai belajar, didampingi guru, dan butuh waktu. ( Salah satu syarat Merasakan ilmu adalah kecerdasan, dimana hal tersebut seringkali diidentikan Bersama kecerdasan Sebelum lahir yang dideteksi Melewati mekanisme test IQ (intelegent quotient).
Berdasarkan hal tersebut, maka teori Nativisme Merasakan tambahan argumentasi tentang bagaimana seorang dapat menjadi berhasil Untuk proses pembelajaran. Kelompok Nativisme atau sering juga disebut Nature beranggapan perubahan yang terjadi Untuk sebuah lingkungan tidak dapat dipastikan terjadi secara berkesinambungan Tetapi yang terjadi justru Sebagai Alternatif. Seorang anak yang semula hanya dapat berpikir konkrit Untuk perkembangannya dapat berpikir abstrak . Tidak semua perkembangan kualitatif meupakan wujud Bersama adanya Ketahanan Bersama tahapan Sebelumnya Itu Sebab Hingga Untuk perkembangan Mungkin Saja saja terjadi percepatan, lompatan atau Malahan kemunduran.
Imanuel Kant menambahkan bahwa setiap anak dilahirkan Untuk keadaan yang baik. Kebaikan ini berasal Bersama Untuk diri yang tumbuh dan berkembang secara alami sebagai Pada daripada anugerah Tuhan. Kemampuan berpikir yang Lanjutnya diejawantahkan Untuk bentuk perilaku keseharian berakar Ke kebebasan setiap anak secara otomatis sesuai Bersama prinsip moral yang dilandasi atas rasionalitas.(Gardner:1999,10). Noam Chomsky Bersama teori Language Acquisition Device (LAD) pun Berkata bahwa setiap anak Memiliki instink yang dimiliki Sebelum lahir (innate facility).(Van Patten:2010)
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Pesantren Untuk Perspektif Teori Enviromentalisme dan Nativisme