M. Kholid Syeirazi, Direktur Eksekutif Center for Energy Policy. Foto/Istimewa
Direktur Eksekutif Center for Energy Policy
INDONESIA punya kekhasan, yang tidak dimiliki Negeri-Negeri lain. Kekhasan itu, Di lain, menjelma Untuk Pasal 33 UUD 1945. Tidak semua Negeri menetapkan haluan ekonominya. Negeri-Negeri Anglo-Saxon malah membatasi peran Negeri Untuk perekonomian.
Doktrinnya minimal state: Lebihterus sedikit aturan lebih baik daripada kebanyakan (the less regulation is better than more). Intervensi pemerintah yang berlebihan dapat mengacaukan keajaiban hukum pasar.
Indonesia mewarisi Kearifan Lokal Rechtsstaat Negeri-Negeri Eropa Kontinental. Negeri bukan sekadar Hakim Laga Lapangan atau penjaga malam (Nachtwächterstaat), tetapi dirigen pembangunan.
Ekonomi tidak diserahkan kepada mekanisme pasar, tetapi dikontrol Negeri. Negeri merencanakan pembangunan, menyiapkan Dana, dan memproteksi sektor industri pelayan hajat hidup Komunitas.
Pasal 33 adalah penjelmaan Untuk welfare state ala Indonesia. Pasal ini menaungi resource nationalism, doktrin tentang kendali Negeri Di ekplorasi dan eksploitasi cabang-cabang produksi strategis.
Pasal ini pula yang melandasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Untuk membatalkan sejumlah Undang-Undang pascareformasi. Hingga Di Undang-Undang yang dibatalkan MK adalah Undang-Undang No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.
Lewat Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, Undang-Undang Ketenagalistrikan dibatalkan seluruhnya Lantaran menganut sistem unbundling. Sistem ini memecah ranting usaha penyediaan tenaga listrik Hingga Untuk pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan yang dilakukan secara terpisah Didalam badan usaha yang berbeda.
Ini membuka keran liberalisasi: produsen listrik swasta (IPP) bisa jualan langsung kepada konsumen Didalam harga bersaing. Skema ini disebut Didalam MBMS (Multi Buyers Multi Sellers). Setelahnya dinyatakan inkonstitusional, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyusun ulang RUU Ketenagalistirkan yang disahkan menjadi Undang-Undang No. 30 Tahun 2009.
Pasal 10 ayat (2) beleid ini kembali membuka Potensi sistem unbundling. Pasal ini menyebutkan usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan secara terintegrasi, yang berarti boleh juga dilakukan secara tidak terintegrasi.
Syarat ini ‘lolos’ Untuk putusan MK No. 149/PUU-VII/2009, tetapi dibatalkan Didalam putusan MK No. 11/PUU-XIII/2015. MK menyebut ada kesengajaan menyimpangi maksud putusan MK Sebelumnya Itu Untuk mengesahkan praktik unbundling Untuk industri ketenagalistrikan. MK menegaskan Konsep unbundling inkonstitusional, Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pascaputusan MK, pasar tenaga listrik menganut skema Multi Buyers-Single Seller (MBSS). Pengembang listrik swasta (IPP) boleh membangun pembangkit listrik, tetapi seluruh setrum yang dihasilkan harus dijual Hingga Perusahaan Listrik Negeri (PLN).
Skema ini sejalan Didalam resource nationalism, putusan MK, dan Pasal 33. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: beban biaya TOP (Take or Pay) yang harus ditanggung PLN. Kelebihan setrum IPP yang tidak terserap harus dibayar PLN, Di Rp3 triliun per GW. Jika sekarang ada 6 GW oversupply, PLN harus menganggarkan Rp18 triliun setiap tahun.
Power Wheeling
Dunia Di berjuang Memangkas laju kenaikan suhu bumi, Di lain Didalam energi rendah emisi. Bauran ‘pembangkit kotor’ Akansegera dikurangi, bauran ‘pembangkit hijau’ dinaikkan. Di ini bauran EBT Mutakhir 13,1% Untuk total kapasitas pembangkit.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Power Wheeling, Pasal 33, dan Agenda Transisi Energi